Kalabahi, PG.com – Pernyataan Anggota DPRD Alor, Gunawan Bala, yang mendesak pemerintah daerah segera menghentikan pasar malam di Lapangan Mini Kalabahi karena maraknya praktik perjudian, bukanlah suara asal-asalan. Itu bukan “ide miskin” seperti tudingan sebagian orang, melainkan jeritan nurani seorang wakil rakyat yang masih punya keberanian moral. Justru keberanian seperti inilah yang semakin langka di tengah kultur politik daerah yang lebih sibuk menutup mata ketimbang menegakkan tanggung jawab sosial.

Mari kita bicara jujur. Pasar malam memang memberi ruang ekonomi, tapi apakah ekonomi itu sehat? Apakah benar yang bergerak di sana hanya UMKM dan pedagang kecil? Faktanya, perjudian menjadi magnet utama, menghisap uang rakyat setiap malam. Sembako murah mungkin bikin perut kenyang sehari, tapi judi menghancurkan dapur sebulan. Uang belanja habis, uang sekolah anak lenyap, rumah tangga retak, generasi muda kehilangan arah. Jadi, siapa yang benar-benar “miskin ide”: DPRD yang berani bicara tegas soal penyakit sosial, atau mereka yang membela judi dengan dalih ekonomi rakyat?
Lebih ironis lagi ketika Pemda, khususnya Wakil Bupati, justru memilih bungkam. Padahal, lapangan tempat pasar malam berdiri adalah fasilitas publik, bukan ruang privat yang bisa dijadikan arena judi terselubung. Pemda tidak bisa sembunyi di balik alasan bahwa ijin keramaian urusan polisi. Polisi hanya mengatur keamanan, tapi kebijakan apa yang boleh dan tidak boleh terjadi di ruang publik adalah domain Pemda. Diamnya Wabup adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Kalau Pemda sejak awal tegas, perjudian tidak akan bisa bertumbuh subur dengan baju hiburan.
Saya, sebagai generasi muda Alor, merasa kecewa dan marah dengan sikap pasif seperti ini. Hiburan rakyat seharusnya mendidik, menghibur, dan menggerakkan ekonomi lokal dengan sehat. Tapi apa yang terjadi? Anak-anak justru menyaksikan orang tua berjudi, remaja terjerumus ikut mencoba, dan keluarga kehilangan uang karena mesin ketangkasan. Saya ingin menegaskan dengan lantang: “Kami generasi muda tidak menolak hiburan, tapi kami menolak racun perjudian. Hiburan bisa hidup tanpa judi, asalkan Pemda punya keberanian menciptakan ruang kreatif yang sehat dan berpihak pada rakyat.”
Masalahnya, keberanian itu nihil. Wabup seolah nyaman dengan kondisi status quo. Padahal, tugas seorang pemimpin bukan sekadar hadir dalam seremoni atau memimpin rapat birokrasi. Tugasnya adalah menjaga moral publik, melindungi rakyat kecil dari jerat penyakit sosial, dan menciptakan kebijakan yang berpihak. Kegagalan Pemda menindak pasar malam yang sarat judi ini adalah bukti nyata kepemimpinan yang lemah, tidak peka, dan hanya pandai menyembunyikan masalah.
Di tengah kegagalan Pemda, ada pula suara-suara yang justru menyesatkan. Andrew Gomang, misalnya, dalam postingannya menuding DPRD “miskin ide” karena mengusulkan penutupan pasar malam. Argumentasi seperti ini bukan hanya dangkal, tapi juga berbahaya. Dengan membela pasar malam yang di dalamnya sarat judi, Andrew seolah melegitimasi racun sosial hanya karena ada keuntungan ekonomi jangka pendek. Ini logika terbalik: ekonomi rakyat tidak bisa dibangun di atas kerusakan moral. PAD sejati lahir dari UMKM, dari budaya, dari infrastruktur ekonomi yang sehat—bukan dari mesin judi yang menghisap darah rakyat.
Kritik bahwa DPRD hanya bisa melarang tanpa memberi solusi pun absurd. Justru pertanyaan baliknya: apa yang sudah Pemda lakukan? Di mana gagasan Wabup untuk menciptakan ruang ekonomi kreatif, menata pasar tradisional, atau memberi wadah hiburan yang mendidik? Jangan menuding DPRD miskin ide, sementara Pemda sendiri miskin terobosan. Kalau Pemda serius, mereka bisa menginisiasi festival budaya, bazar kuliner, atau pasar kreatif yang bebas dari judi. Tetapi karena malas berpikir dan enggan bertindak, mereka membiarkan rakyat dihipnotis oleh mesin ketangkasan.
Sebagai generasi muda Alor, saya tidak bisa diam menyaksikan ini. Judi bukan sekadar soal uang, tapi soal masa depan. Kalau pemerintah masih diam, rakyat harus berani bersuara. Kalau DPRD sudah lantang, maka Pemda tidak boleh terus pura-pura tuli. Saya ingin menegaskan: “Lebih baik Pemda dibilang miskin gagasan tapi berani menutup judi, daripada Pemda dibilang pintar tapi membiarkan generasi muda rusak.”
Isu pasar malam ini bukan sekadar perdebatan tentang hiburan, tapi soal arah moral kepemimpinan di Alor. Apakah Pemda berani berpihak pada rakyat kecil atau lebih suka nyaman di balik dalih prosedur dan ijin keramaian? Apakah Wabup siap dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang melindungi rakyat, atau sekadar birokrat yang membiarkan judi merajalela?
DPRD sudah bicara. Generasi muda sudah bicara. Sekarang bola ada di tangan Pemda. Kalau Pemda masih memilih diam, rakyat berhak menyebut mereka gagal. Dan kegagalan itu akan terus diingat, karena yang mereka biarkan bukan sekadar pasar malam, melainkan kehancuran moral satu generasi. (*Eka Blegur).