Korupsi Dan Kepolitikan

Korupsi dalam Politik Demokrasi: Menjaga Integritas Pemerintahan

Setiap pemerintahan demokratis perlu mencurahkan perhatian besar pada masalah korupsi, sebagaimana kutipan Lord Acton yang terkenal:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
(Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.)

Dalam politik demokrasi, bahkan pemerintahan terbaik sekalipun dapat disalahgunakan oleh mereka yang dipercaya mengemban kekuasaan, yang pada akhirnya bisa berubah menjadi tirani. Dalam sistem pemerintahan yang baik dan tertata rapi seperti demokrasi rasional dan deliberatif, kekuasaan tetap dapat tergelincir ke dalam praktik korupsi. Korupsi bukanlah monopoli otoritarianisme atau totalitarianisme; sistem demokrasi pun bisa mengalami penyalahgunaan kekuasaan ini.

Sejumlah kasus korupsi belakangan ini mengguncang dunia politik, dan tidak ada bangsa yang kebal dari praktik korupsi. Pemikir anti-korupsi menyatakan bahwa gejala korupsi bersifat inheren dalam semua sistem sosial—baik feodal, kapitalis, komunis, maupun sosial. Korupsi dapat menyentuh semua kelas masyarakat, semua organisasi negara, baik dalam kondisi perang maupun damai, serta melibatkan berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Dengan kata lain, korupsi bersifat transhistoris dan transistemik.

Korupsi merusak semua sistem ideologi dan terus berkembang sepanjang sejarah pemerintahan. Tidak ada negara dengan sistem yang sepenuhnya aman dari korupsi, bahkan negara-negara dengan sistem yang baik sekalipun. Saya secara pribadi berharap kita dapat menyusun solusi ideal bersama untuk mengatasi korupsi dalam sistem demokrasi, sehingga politik dapat menjunjung martabat yang tinggi.

Kunci dari sistem demokrasi adalah kepercayaan publik. Semakin meluasnya korupsi, semakin merosot dan terkikis pula kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, yang pada gilirannya akan merusak tatanan politik secara keseluruhan. Tanpa kepercayaan publik, sistem demokrasi terbaik sekalipun akan menjadi arena penuh ketidakpastian dan risiko.

Baca juga :  Membaca Pikiran Anton Doni Dihen - Mengapa Solor Run?

Bapak bangsa kita, Mohammad Hatta, mengatakan bahwa politik pada hakikatnya adalah upaya untuk mencapai kesejahteraan umum (common good). Korupsi, sebaliknya, adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan kepentingan pribadi. Akibat terburuk dari korupsi adalah rusaknya atau berkurangnya kesejahteraan umum atau kepentingan publik. Dengan demikian, korupsi bertentangan dengan esensi politik itu sendiri.

Namun, kita semua tahu bahwa korupsi seringkali sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dan politik. Dalam berbagai kasus, korupsi telah menjadi kekuatan destruktif yang merubah hakikat politik. Korupsi telah merusak tatanan makna politik, yang membuat dunia politik kehilangan makna luhur yang seharusnya.

Mereka yang aktif dalam dunia politik menghadapi ancaman besar: membedakan mana yang korupsi dan mana yang politik yang sesungguhnya. Gejala ini bisa menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi, yaitu apatisme, skeptisisme, dan sinisme masyarakat terhadap politik. Tak heran jika banyak ilmuwan politik menyebut bahwa musuh terbesar dari politik adalah korupsi. Banyak ahli yang berpendapat mengapa korupsi politik muncul, salah satunya akibat lemahnya sistem penegakan hukum, lemahnya sistem norma, dan kebudayaan yang turut berperan dalam mendorong korupsi.

Saya berpendapat bahwa tidak ada korupsi yang tidak bersifat politik. Korupsi merusak hakikat politik itu sendiri. Salah satu sumber utama korupsi politik adalah absennya pandangan normatif mendasar mengenai politik. Rendahnya pendidikan politik dan minimnya pemahaman bahwa politik sejatinya adalah upaya untuk memperjuangkan hal-hal yang bersifat publik, seperti keadilan, kebebasan, dan kemaslahatan bersama, memperburuk situasi ini.

Selain itu, desain institusional kepolitikan yang kurang pas juga turut memperburuk keadaan. Dalam banyak kasus, dominasi kekuasaan dalam sistem politik mengurangi efektivitas sistem checks and balances. Praktik korupsi seringkali muncul akibat pertautan atau koneksi terbuka maupun terselubung antara politisi, lembaga legislatif, dan pejabat di berbagai kementerian dan birokrasi. Skema ini menciptakan permainan politisi yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Baca juga :  Hiburan atau Racun: Pasar Malam, Judi, dan Kegagalan Pemda Alor, Opini Oleh Sanji Hasan, Generasi Muda Alor

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mencatat bahwa korupsi melibatkan politisi, kepala daerah, pejabat publik, birokrat, hingga pejabat tinggi di DPR. Oleh karena itu, saya mengharapkan desain institusional yang lebih baik, yang memperkuat posisi eksekutif dibanding legislatif, serta membangun lembaga-lembaga anti-korupsi yang lebih tangguh untuk memberikan kontrol yang lebih baik terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berpotensi korup.

Sebagai pribadi, saya masih percaya bahwa politik adalah jalan terbaik untuk memperjuangkan cita-cita luhur dalam kehidupan, seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga politik sebagai wilayah yang bermartabat, melindungi politik dari serbuan kepentingan pribadi, dan menekan substansi politik untuk mencapai common good. Kerangka berpikir ini harus ditanamkan pada setiap generasi muda yang ingin memasuki arena politik, guna membawa pembaharuan dan transformasi yang diperlukan.

Implikasi buruk dari pertautan politisi, birokrat, dan teknokrat akibat desain institusional yang tidak tepat harus menjadi perhatian kita. Kita perlu memperkuat lembaga-lembaga anti-korupsi yang efektif, untuk memberikan kontrol yang lebih baik terhadap kekuasaan yang rentan terhadap korupsi.

Semoga kita bersama-sama dapat memperbaiki dan memperkuat makna kepolitikan yang bermartabat di masa depan.

~ JOIN US, WE FIGHT FOR A CLEAN GOVERNMENT ~