Jogjakarta,PG.com – Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, atau yang akrab disapa Noel, adalah pukulan telak yang menyakitkan bagi kami. Baru dua bulan dilantik, ia sudah tega menyalahgunakan jabatan demi memperkaya diri. Dalam kasus yang diungkap KPK, biaya resmi sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang seharusnya Rp 275 ribu diperas hingga Rp 6 juta. Dugaan total pungli mencapai Rp 81 miliar, dengan Rp 3 miliar masuk ke kantong pribadinya.
Apakah ini sekadar kejatuhan seorang pejabat? Tidak. Bagi saya, ini adalah potret nyata betapa rapuhnya integritas birokrasi kita. Korupsi bukan lagi persoalan individu, melainkan penyakit yang telah menggerogoti sendi-sendi negara. Dan yang paling menderita adalah rakyat kecil—kita yang jauh dari pusat kekuasaan, yang setiap rupiah punya arti begitu besar.
Sebagai anak muda Pulau Kangge, Alor, saya merasakan betul pahitnya pengkhianatan ini. Di tanah kami, Rp 6 juta bukan angka kecil. Itu bisa membayar satu semester kuliah, menjadi modal usaha keluarga, atau menutup biaya hidup berbulan-bulan di kota perantauan. Uang sebesar itu adalah keringat, air mata, bahkan doa orang tua yang berjuang dengan segala keterbatasan. Bagaimana mungkin uang sebanyak itu diperas hanya untuk sebuah tanda tangan sertifikasi? Inilah wajah paling kejam dari korupsi: pejabat tega merampas harapan rakyat demi menimbun harta.
Hidup di Pulau Kangge tidak mudah. Pulau kami kecil, jauh dari hiruk pikuk kota besar, dengan listrik, air bersih, dan pendidikan yang terbatas. Banyak anak muda harus menyeberang ke Kalabahi atau merantau jauh ke Kupang, Bandung, Jakarta, hingga Yogyakarta demi melanjutkan sekolah. Orang tua kami menjual hasil laut, menanam jagung, bahkan menggadaikan tanah demi biaya kuliah anak-anaknya. Di sini, setiap rupiah punya nyawa.
Itulah mengapa mendengar seorang pejabat negara seenaknya mempermainkan uang rakyat membuat kami marah dan muak. Ketika kami harus berhemat untuk membeli buku, menabung demi ongkos kapal, atau belajar dengan pelita saat listrik padam, pejabat di pusat justru sibuk mengeruk miliaran rupiah dari pungli. Ketika kami berjuang demi masa depan, mereka tega merampok masa depan itu.
Kasus Noel membuka mata kita tentang wajah asli birokrasi Indonesia. Di atas kertas, birokrasi ada untuk melayani rakyat. Namun dalam praktik, ia sering menjelma menjadi labirin penuh pungutan liar. Layanan publik yang seharusnya menjadi jalan terang justru berubah jadi lorong gelap penuh jebakan. Noel hanyalah contoh yang tertangkap, sementara kita tahu praktik ini tersebar di banyak lini pemerintahan.
Sebagai anak muda, saya bertanya: apa arti semua slogan pembangunan dan kesejahteraan, jika pejabat justru sibuk mempermainkan rakyat? Bagaimana kami bisa percaya pada negara, ketika pejabat tinggi dengan mudahnya memperdagangkan jabatan? Bukankah jabatan seharusnya amanah, bukan sarana memperkosa kepercayaan rakyat?
Bagi saya, Noel bukan sekadar satu nama yang jatuh. Ia simbol kegagalan kita menjaga integritas. Ia bukti bahwa birokrasi masih dikuasai serigala berbulu domba. Ia cermin bahwa sistem kita belum cukup kuat menahan kerakusan. Dan yang mengerikan, kasus ini bisa menguatkan apatisme: anggapan bahwa semua pejabat sama saja, bahwa korupsi tidak bisa diberantas.
Tetapi saya menolak pandangan itu. Kami, anak muda dari Pulau Kangge, tidak boleh menyerah pada kenyataan pahit. Kami tidak boleh membiarkan apatisme tumbuh menjadi warisan. Jika kita diam, kita ikut menjadi bagian dari pengkhianatan itu.
OTT Noel harus jadi momentum perubahan. Bukan sekadar menumbangkan satu nama, melainkan merombak sistem yang busuk dari akarnya. Pemerintah harus berani melakukan reformasi birokrasi nyata: digitalisasi penuh layanan publik, transparansi yang bisa diakses semua orang, dan pengawasan tanpa kompromi. Hukuman bagi pejabat korup tidak boleh lagi setengah hati, karena mereka tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga merampas masa depan generasi muda.
Saya ingin berkata jujur, dari hati seorang anak muda Pulau Kangge, Alor: kami muak. Kami muak melihat jabatan dijadikan alat memperkaya diri. Kami muak mendengar janji manis pembangunan yang hanya topeng keserakahan. Kami muak diwarisi negara yang terus berputar dalam lingkaran korupsi. Kami ingin perubahan nyata, bukan sekadar tontonan OTT yang terus berulang.
Hari ini, Noel telah ditangkap. Besok mungkin ada pejabat lain yang menyusul. Pertanyaan terpenting adalah: apakah sistemnya akan berubah? Ataukah ini hanya akan jadi drama sesaat yang segera dilupakan?
Sebagai anak muda dari Timur, saya hanya ingin satu hal: jangan biarkan kami mewarisi negara yang hancur oleh korupsi. Kami ingin negara yang sehat, bersih, dan adil. Kami ingin percaya bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat merampok rakyat.
Korupsi adalah pengkhianatan terbesar terhadap bangsa. Noel sudah memberi contoh paling telanjang. Kini giliran kita semua menentukan: apakah kita diam, atau kita berani melawan? (*Eka Blegur).