Kalabahi, PG.com – Ricuhnya pelantikan pejabat lingkup Pemerintah Kabupaten Alor pada Kamis, 29 Oktober 2025, mengungkap wajah asli politik kekuasaan di daerah: birokrasi yang tunduk, pemimpin yang lemah, dan pemerintahan yang tersandera oleh loyalitas politik. Kisruh yang dipicu oleh desakan kelompok yang mengaku tim sukses dan keluarga “Abui Aremang” agar pelantikan ditunda hingga Bupati kembali dari Kupang bukan sekadar insiden kecil tapi tamparan keras terhadap wibawa pemerintahan daerah.
Penundaan yang Tidak Masuk Akal
Wakil Bupati Alor, Rocky Winaryo, menyebut penundaan dilakukan karena “masukan baik” dari keluarga Abui Aremang agar pelantikan dihadiri langsung oleh Bupati Iskandar Lakamau yang sedang sakit.
Alasan ini tampak “bijak” di permukaan, tetapi sangat tidak masuk akal dalam kerangka hukum dan tata pemerintahan.
Bupati memang memiliki posisi tertinggi dalam pemerintahan daerah, namun ketika ia berhalangan sementara, Pasal 65 ayat (1) huruf c UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas memberikan kewenangan kepada Wakil Bupati untuk melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah. Dengan kata lain, Wabup tidak perlu menunggu Bupati untuk melantik pejabat. Justru menunda pelantikan atas tekanan kelompok tertentu berarti mengabaikan mandat hukum yang melekat padanya.
Lebih parah lagi, alasan “menunggu Bupati” digunakan untuk menutupi fakta bahwa penundaan terjadi karena tekanan politik dari kelompok tim sukses. Ini bukan sekadar kelemahan administratif, tetapi pelanggaran etika pemerintahan dan bentuk nyata dari subordinasi birokrasi di bawah kepentingan politik informal.
Ketika Kekuasaan Takluk pada Tekanan Sosial
Sikap Wabup Rocky Winaryo yang menuruti tekanan tersebut menunjukkan kegagalan kepemimpinan dalam memahami batas antara kepentingan publik dan loyalitas pribadi. Dalam pernyataannya kepada media, ia bahkan mengakui bahwa “orang-orang yang datang protes itu keluarga saya.”
Pernyataan ini adalah bukti gamblang bahwa sistem pemerintahan di Alor sedang dikuasai oleh logika kekerabatan, bukan oleh prinsip meritokrasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN.
Seorang pejabat publik seharusnya berdiri di atas prinsip objektivitas dan netralitas ASN. Ketika keputusan birokrasi diintervensi oleh hubungan personal, maka pemerintah kehilangan integritas moral dan legitimasi administratifnya.
Machiavelli dan Weber: Dua Cermin bagi Pemerintahan Alor
Jika kita menengok teori Niccolò Machiavelli dalam The Prince, seorang pemimpin ideal harus tegas, rasional, dan mampu menjaga kewibawaan kekuasaannya di atas tekanan sosial maupun politik. Bagi Machiavelli, kelemahan seorang penguasa bukan terletak pada kurangnya popularitas, tetapi pada ketidakmampuannya menegakkan otoritas negara di hadapan kepentingan kelompok.
Dalam konteks Alor, keputusan Wabup untuk menunda pelantikan karena desakan “keluarga Abui Aremang” menunjukkan bahwa kekuasaan formalnya telah dikalahkan oleh kekuasaan sosial — sesuatu yang bagi Machiavelli adalah bentuk kegagalan kepemimpinan.
Sementara itu, Max Weber melalui teorinya tentang otoritas legal rasional menekankan bahwa kekuasaan modern harus dijalankan berdasarkan aturan hukum, prosedur birokratis, dan rasionalitas administrasi, bukan atas dasar hubungan pribadi atau loyalitas kelompok. Menurut Weber, birokrasi hanya bisa efektif jika dijalankan secara impersonal keputusan diambil karena aturan, bukan karena rasa sungkan. Namun, tindakan Wabup justru memperlihatkan kebalikannya: keputusan publik diambil karena tekanan emosional dan solidaritas keluarga, bukan atas dasar prinsip rasional-legal yang menjadi fondasi birokrasi modern.
Kedua teori ini seolah menyatu untuk menggambarkan realitas di Alor: pemimpin yang gagal menegakkan otoritas (Machiavelli) dan birokrasi yang kehilangan rasionalitas (Weber). Dan dalam situasi seperti itu, yang tersisa hanyalah pemerintahan yang berjalan atas dasar kompromi dan ketakutan — bukan hukum dan kepentingan rakyat.
Bahaya Politik Kekeluargaan
Apa yang terjadi di Alor ini bukan sekadar drama lokal. Ini adalah contoh sempurna bagaimana politik kekeluargaan menghancurkan tata kelola pemerintahan.
Di satu sisi, Wabup berusaha tampil seolah menghormati Bupati yang masih dalam pemulihan; di sisi lain, ia justru menyandera roda pemerintahan dengan menunggu simbol, bukan menjalankan mandat.
Jika semua keputusan birokrasi harus menunggu kehadiran fisik Bupati, lalu untuk apa jabatan Wakil Bupati diciptakan dalam sistem pemerintahan daerah?
Fungsi wakil adalah memastikan roda pemerintahan tidak berhenti, bukan ikut berhenti karena tekanan massa.
Birokrasi seharusnya menjadi benteng dari politik praktis, tapi justru kini dijadikan _alat tawar kekuasaan. ASN yang sudah siap dilantik disuruh “pulang ke rumah,” sementara negara dipaksa menunggu restu politik. Ini pelecehan terhadap sistem administrasi pemerintahan yang sehat.
Konsekuensi Hukum dan Moral
Secara hukum, penundaan pelantikan karena tekanan politik dapat dikategorikan sebagai _penyalahgunaan kewenangan administratif.
Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebut bahwa pejabat pemerintahan dilarang menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan tertentu.
Keputusan Wabup Alor yang menunda pelantikan karena “keluarga minta tunda” jelas memenuhi unsur itu. Dan secara moral, tindakan itu memperlihatkan bahwa kepemimpinan daerah di Alor lebih tunduk pada suara loyalis daripada suara aturan.
Catatan dari Generasi Muda Alor
Sebagai Generasi Muda Alor, saya menilai sikap seperti ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik. Kita tidak bisa membangun daerah jika birokrasi dikendalikan oleh perasaan. Kita tidak akan maju jika pejabat publik takut kehilangan dukungan politik lebih daripada kehilangan kepercayaan rakyat.
Pemerintahan yang sehat berdiri di atas aturan, bukan atas hubungan darah.
Dan seorang Wakil Bupati yang benar-benar memahami tanggung jawabnya seharusnya tidak menunggu “lampu hijau” dari kelompok manapun untuk menjalankan mandat hukum.
Penutup
Peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pemimpin daerah di NTT: loyalitas pribadi tidak boleh mengalahkan tanggung jawab publik. Jika hari ini pelantikan bisa ditunda karena tekanan politik, maka besok kebijakan pembangunan pun bisa dibatalkan dengan alasan serupa.
Alor tidak butuh pemimpin yang pandai berkompromi; Alor butuh pemimpin yang berani menegakkan sistem. Karena jika pemerintahan terus tunduk pada tekanan “tim sukses,” maka yang tersisa bukanlah negara hukum, melainkan _pemerintahan bayangan yang dijalankan oleh rasa sungkan dan ketakutan. Demikian sebuah Opini yang ditulis oleh Sanji Hasan. (Eka Blegur).