Membela yang Tak Berdaya: Catatan dari Seorang Pengacara Orang Susah

Ferdy Maktaen, seorang pengacara dari wilayah timur Indonesia, dikenal karena komitmennya membantu masyarakat miskin dan menangani kasus-kasus politik yang rentan ketidakadilan. Sekitar 75% kliennya berasal dari kalangan tidak mampu, bahkan ada yang membayar jasanya dengan beras raskin sebanyak 5 kilo. Ia menekankan bahwa profesi hukum harus dijalani dengan hati dan nurani, bukan semata mencari keuntungan.

Ferdy menolak menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan terhadap anak, dengan alasan moral dan profesional. Ia juga aktif sebagai konselor dan penggagas gerakan laki-laki baru yang menghargai perempuan dan membela hak-hak mereka.

Ia kerap terlibat dalam sengketa Pilkada, pendampingan politisi seperti El Samau, Bupati TTU, dan Bupati Belu, serta kasus-kasus viral seperti Hercules dan Rudi Soik. Perjuangannya tak jarang membawa risiko, termasuk intimidasi, ancaman, hingga penodongan senjata. Meski begitu, ia tetap menjaga profesionalisme dan kredibilitas.

Ferdy kritis terhadap sistem hukum yang dinilainya “tumpul ke atas, tajam ke bawah”, dan menekankan pentingnya restorative justice agar tidak semua perkara berujung ke pengadilan. Ia juga membantu perjuangan Rudi Soik, polisi yang dipecat karena vokal membela keadilan, dengan menyadari peran penting jejaring dan politik hukum di luar jalur formal.

Dalam isu terkini, ia menyoroti penutupan jalan menuju Pantai Boa di Rote, yang dikritik oleh aktivis Erasmus Franz Mandato, sebagai bentuk konflik antara akses publik dan kepentingan pribadi.

Wawancara ini menggambarkan peran pengacara bukan hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga sebagai penengah dan pejuang keadilan sosial di tengah struktur yang timpang.

Baca juga :  Pada Pidato Perdana Bupati Alor, Ketua Komisi I DPRD, Sulaiman Singh Sampaikan Berbagai Masalah Daerah Diantaranya, Kesehatan, Pendidikan Dan Ketahanan Pangan Yang Perlu Ditanggulangi