Politik Militer

Rencana Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI: Potensi Militerisasi Demokrasi Sipil

Rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, berpotensi menghadirkan militerisasi dalam demokrasi sipil. Data riset terkini mencatat, saat ini sekitar 2.500 personil TNI berdinas di lembaga sipil di bidang pertahanan. Perluasan kewenangan ini dapat berdampak besar jika RUU ini disahkan, sebab TNI tidak perlu lagi mengundurkan diri untuk menduduki jabatan sipil.

Pada Pasal 47 yang sebelumnya membatasi prajurit TNI hanya untuk 10 kementerian/lembaga, kini diusulkan perluasan dengan frasa “serta kementerian/lembaga yang membutuhkan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan Presiden.” Hal ini berpotensi menghambat demokrasi sipil karena posisi-posisi strategis bisa saja harus diserahkan kepada personil TNI.

Dengan masuknya militer ke dalam pemerintahan, jalur menuju politik menjadi terbuka lebar. Perputaran sistem politik ini harus dibatasi untuk menjaga demokrasi tetap berjalan pada porosnya.

Militer tidak akan berpolitik apabila panggung politik dan rezim sipil yang berkuasa memiliki legitimasi kuat serta jauh dari pertikaian antar kelompok kepentingan. Ketidakstabilan politik seringkali membuka ruang intervensi militer, terutama ketika politisi dianggap lemah, korup, dan mengutamakan kepentingan sesaat atas nama partai atau golongannya. Dalam negara demokrasi, situasi semacam ini sering terjadi, sehingga penting untuk mengembalikan tugas pokok militer secara profesional, yakni sebagai alat pertahanan negara.

Militer sebaiknya fokus mengevaluasi dan menyiapkan segala kebutuhan untuk mempertahankan negara dari ancaman luar, tanpa berkecimpung dalam ranah politik praktis. Multifungsi militer justru berpotensi menggerus kehidupan demokrasi sipil sekaligus menurunkan fokus militer pada fungsi utamanya, yaitu pertahanan nasional.

Baca juga :  Jalan Panjang Menuju Indonesia Raya

Memberikan tugas tambahan kepada militer selain fungsi pokoknya berisiko besar menurunkan kualitas prajurit. Jika agenda multifungsi ini tetap diakomodasi dalam revisi UU TNI, maka profesionalisme dan optimalisasi angkatan tempur nasional akan terganggu.

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat (AS) telah berhasil membentuk satuan tempur luar angkasa pertama di dunia. Singapura, meski dengan jumlah militer terbatas, memiliki satuan pertahanan siber yang kuat di kawasan Asia Tenggara. Bahkan Laos, meski negara tanpa laut (landlocked), memiliki angkatan laut untuk menjaga perairan Sungai Mekong. Negara-negara ini menunjukkan betapa prioritas utama militer adalah memperkuat kapasitas pertahanan, bukan memperluas fungsi ke ranah sipil.

Pak Prabowo juga telah lama menyoroti urgensi peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) nasional. Pada tahun 2023, jumlah personil militer Indonesia pun masih dianggap kurang untuk menjaga teritorial negara yang sangat luas. Pemerintah bahkan mendorong pembentukan komponen cadangan untuk membantu tugas-tugas militer.

Serangan-serangan siber terhadap Indonesia juga meningkat. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) sampai mencetuskan pentingnya pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat di Indonesia. Ini menunjukkan betapa pentingnya peningkatan kapasitas militer, daripada memperluas peran militer ke ranah sipil.

Sebaiknya, militer lebih difokuskan membangun kekuatan internal agar menghasilkan prajurit yang terlatih dan siap menjaga pertahanan nasional. Urusan ranah sipil dan demokrasi sebaiknya tetap dipercayakan kepada talenta-talenta sipil yang direkrut secara terbuka dan kompetitif melalui mekanisme publik.

Publik harus terus mengawal dan mengawasi agenda revisi UU ini, mengingat Pemerintah dan DPR membahasnya secara senyap. Ditambah lagi, parlemen memiliki pengalaman panjang dalam proses legislasi yang serampangan.